Waktu yang Tepat

Kapan Waktu yang tepat untuk Menikah?

Jawaban saya: ketika kita sudah siap.

Kapan kita dikatakan siap untuk Menikah?

Jawaban saya: tidak akan pernah siap.

Ya, menurut saya pernikahan itu merupakan keputusan seumur hidup yang harus dipertanggungjawabkan. Jadi kalau ditanya apakah kita sudah siap menikah? pasti jawabannya selalu belum. Tapi seiring berjalannya waktu, saya yakin bahwa ada satu masa dimana kita bisa merasakan bahwa kita sudah lebih siap, atau jauh lebih siap dari sebelumnya.

Hal ini yang dirasakan ketika akhirnya di tahun ini saya dan Aldo memutuskan untuk bilang ke orang tua bahwa kami sudah siap menikah. Flashback 3 tahun lalu, Aldo pernah cerita soal saran ayahnya untuk segera menikah di tahun 2011, jujur pada waktu itu saya takut sendiri. Gila aja umur saya masih 22 saat itu, gak kebayang yang namanya ngurus rumah, apalagi ngurus anak ((anak!)). Masih baru lulus dan belum punya apa-apa. Gaji bulanan masih sering habis karena gaya hidup di Jakarta. Masih ingin jalan kesana-kesini nikmatin hasil yang didapat dengan keringat sendiri. Kesimpulannya pada saat itu, saya tidak siap untuk menikah dan mungkin tidak akan pernah siap. 

Tapi bukan berarti ketika tidak siap kita malah lari dan tidak berbuat apa-apa. Saya dan Aldo mulai memikirkan bagaimana caranya supaya kita bisa siap, langkah paling mudahnya adalah kita definisikan berdua seperti apa exit criteria dari kata siap itu. Artinya, ketika kriteria tersebut terpenuhi, berarti kita bisa bilang kalau “we’re ready to establish a happy and blessed marriage“.

Menurut saya pribadi, kriteria siap itu ada dua, Kualitatif dan Kuantitatif (buset, nikah atau skripsi). Dimana kualitatif berarti mental, dan kuantitatif yaitu material. Kualitatif gak bisa diukur, melainkan dirasakan, aspek inilah yang akhirnya kita kesampingkan dulu karena tidak banyak yang bisa diperbuat. What to expect? ikutan kursus mengatur rumah tangga? Les menjadi suami yang membanggakan? enggak kan :). Akhirnya kita fokus kepada aspek kuantitatif, yaitu material, alias d u i t.

Mulailah kami membagi tugas, Aldo fokus untuk ambil cicilan rumah dan mobil. Saya fokus untuk tabungan biaya nikah. Kenapa gak cicil atau nabung sama-sama? Karena pada akhirnya kita cuma bisa merencanakan dan Allah yang tunjukin jalannya. Jadi dengan memisahkan fokus ini, jika misalnya (naudzubillah) di tengah jalan kita ternyata bubar jalan, kita gak dipusingkan dengan urusan pembagian harta gono-gini :p

Berat? memang. Susah? pasti. Tapi ketika kita menjalankannya dengan orang yang memang kita inginkan, insya Allah at the end of the day yang kita rasain itu bahagianya. Saya kenal sama pria ini dari 8 tahun yang lalu. Udah pasti pernah ragu, kesel, atau bahkan cari opsi lain (loh). Tapi yang namanya hati gak akan pernah bohong, dia akan selalu mencari tempat yang bisa membuat dia nyaman. Dan untuk saya, kenyamanan itu bisa selalu saya rasakan pada pria ini dari dulu sampai sekarang. He’s not perfect, but I believe that he’s a perfect partner for my learning journey.  

So here we are now, yakin bahwa waktu yang tepat akhirnya sudah datang. restu dari kedua orang tua sudah di tangan. Dan to-do-list yang terdekat adalah menikmati pusingnya ngurusin acara beberapa bulan ke depan. Mohon doa dan restunya, semoga segalanya lancar 🙂

last little piece from me, untuk teman-teman yang masih ragu, nikmatin aja prosesnya. Jangan terburu-buru karena peer-pressure lah, umur lah, orang tua lah. Karena cuma kita sendiri yang bisa definisikan kebahagian untuk kita. Dan kita sendiri yang berhak menentukan kapan dan bagaimana kita memperjuangkan kebahagiaan itu.

“Happiness is not something ready made. It comes from your own actions.”
― Dalai Lama XIV

“Happily ever after is not a fairy tale. It’s a choice.”

― Fawn Weaver

6 thoughts on “Waktu yang Tepat

  1. santiariastuti says:

    semoga dilancarkan yaaa.. persiapan nikah, nikah, dan yang paling penting days after nikahan. mayan bok, seumur hidup jeeeh 😀 😀 . semoga suami kelak juga mau berbagi tugas domestik yaaa.. aamiin 😉

Leave a comment